Jakarta – Sejak 2012, penjualan mobil baru di Indonesia mengalami stagnasi di angka 1 jutaan. Berdasarkan riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), bekerja sama dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan mobil selama kurun waktu 2013 hingga 2022 menurun rata-rata 1,64 persen per tahun.
Sementara, pendapatan per kapita hanya naik rata-rata 3,65 persen per tahun. Sebagai perbandingan, selama periode 2000 hingga 2013 pendapatan per kapita naik rata-rata 28,26 persen per tahun dan penjualan mobil meningkat 21,23 persen per tahun.
Menurut peneliti senior dari LPEM FEB UI Riyanto, stagnasi pasar mobil baru setidaknya disebabkan dua faktor, yaitu kenaikan harga mobil serta kondisi pendapatan per kapita. “Jadi, temuannya sudah jelas. Pertama, pendapatan per kapitanya tidak naik cukup besar, hanya tiga persen naik dalam 10 tahun terakhir, dan harga mobil naiknya juga di atas inflasi, 5-6 persen. Inflasi kita kan sekarang empat persen,” katanya di Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024.
Menurutnya, penjualan mobil berkaitan erat dengan faktor ekonomi seperti harga mobil, suku bunga kredit, kurs, harga bahan bakar, dan ketersediaan stok mobil. Namun, faktor yang berpengaruh paling signifikan terhadap penjualan mobil adalah harga mobil dan pendapatan per kapita.
Peningkatan penjualan mobil bekas, terutama di Jawa, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan penjualan mobil baru. Pada 2022, sekitar 65 persen pembeli mobil di Jawa memilih mobil bekas, antara lain karena beda harga yang semakin lebar antara mobil baru dan mobil bekas.
Mobil Bekas Jadi Pilihan
Ketika harga mobil baru semakin tinggi dan pendapatan per kapita kenaikannya tidak sebanding, mobil bekas menjadi pilihan bagi yang menginginkan kendaraan dengan harga terjangkau. “Pilihannya itu mungkin karena pendapatannya tidak naik tinggi, harga mobil barunya juga cukup besar naiknya, pilihannya akhirnya mobil bekas,” ujar Riyanto.
“Apalagi, pasar mobil bekas di 10 tahun terakhir ini pembelinya itu tidak beli kucing dalam karung. Sekarang cacatnya dikasih tahu sekarang, digaransi. Jadi sudah relatif transparan,” kata dia.
Stagnasi dalam penjualan mobil baru, menurut pendapat Riyanto, dapat diatasi menggunakan pendekatan jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan per kapita dapat dicapai melalui re-industrialisasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
“Meningkatkan nilai tambah dalam perekonomian dan pertumbuhan ekonomi minimal enam persen dengan re-industrialisasi agar porsi sektor manufaktur terhadap PDB bisa mencapai 25 persen hingga 30 persen, mendorong pendapatan per kapita kelompok menengah ke atas naik ke kelas makmur,” Riyanto menjelaskan.
Solusi Keluar dari Jebakan PenjualanRespons
Riyanto mengungkap, solusi jangka pendek yang dapat dijalankan untuk mengatasi stagnasi dalam penjualan mobil ini antara lain penurunan komponen pajak pada harga mobil. Komponen pajak saat ini mencapai 40 persen dari harga off the road mobil. Penurunan pajak bisa membuat harga mobil menjadi lebih terjangkau bagi konsumen.
Selain itu, keberhasilan relaksasi pajak pejualan atas barang mewah (PPnBM) tahun 2021 dalam mendorong peningkatan penjualan mobil merupakan contoh bagaimana kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong pertumbuhan pasar.
Riyanto juga mengemukakan perlunya stimulus fiskal agar kelompok menengah ke atas yang hampir masuk ke kategori makmur dapat membeli mobil baru, misalnya dengan insentif pajak untuk kendaraan mobil ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC) dan 4×2 low.
Di samping itu, dia menyarankan penyegaran kembali program mobil murah pemerintah serta mendorong efisiensi produksi mobil dan pemberian diskon dalam pembelian mobil.
“Nah untuk produsen ini sudah seberapa efisien dalam produksi? Apakah mungkin pemberian diskon? Pameran dan pemberian diskon itu kan program untuk mendorong pasar sebetulnya,” Riyanto memungkasi.
Respons Toyota
Menanggapi hasil riset LPEM FEB UI tersebut, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menyatakan, secara internal perusahaan telah memiliki sejumlah solusi untuk dapat keluar dari jebakan penjualan 1 juta unit.
“Solusinya, berusaha untuk terus meningkatkan efisiensi dan produktifitas kita melalui perbaikan human resources, kemudian supply chain kita karena 75% produknya TMMIN itu bergantung pada supplier, jadi TMMIN-nya bagus, suppliernya enggak bagus ya enggak ada gunanya juga,” kata Bob saat ditanya Liputan6.com.
Kemudian juga, sambungnya, masalah kualitas produk dengan menurunkan angka cacat produk. “Termasuk juga meningkatkan lokalisasi di dalam negeri. Selebihnya adalah kebijakan pemerintah bagaiman perpajakannya, support industrinya, insentif-insentif yang lebih kaya seperti di negara lain, tak hanya untuk konsumen tetapi juga untuk produsen,” ungkap Bob.
+ There are no comments
Add yours